Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia -->

Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia


Dalam literatur hukum islam kontemporer, kata “pembaharuan” silih berganti di pergunakan dengan kata reformasi, modernisasi, reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah, dan tajdid. Diantara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi, islah, dan tajdid. Reformasi berasal dari bahasa inggris “Reformation” yang berarti membentuk atau menyusun kembali. Tajdid mengandung arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau memperbaiki agar dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kata islah diartikan dengan perbaikan atau memperbaiki.

Maka pembaruan hukum keluarga islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum keluarga islam dengan cara-cara yang telah di tentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat hukum yang di benarkan sehingga menjadikan hukum keluarga islam dapat tampil lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembaruan hukum keluarga islam adalah pembaruan yang dilakukan meliputi al i’adah (mengembalikan), al ibanan (memurnikan) dan al ihya (menghidupkan).

Adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum adalah :

  1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma norma yang ada dalam kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan.
  2. Pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah yang belum ada aturan hukumnya.
  3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
  4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum keluarga islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional.

Pembaruan hukum keluarga islam disebabkan karena adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari faktor-faktor di atas. Dan adapun beberapa orang pembaru hukum keluarga islam di indonesia yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hukum keluarga islam, diantaranya : Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan Bangil, Harun Nasution, Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan pembaru lainnya.

Adapun fase-fase pembaruan hukum kelurga islam di Indonesia dapat dibagi sebagai berikut :

1. Sebelum Penjajahan Belanda

Adapun cara penyelesaian sengketa di kalangan kaum muslim pada awal Islam datang ke Indonesia adalah dalam bentuk perdamaian (hakam). Maka lembaga peradilan pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim. Kemudian yang kedua, lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd, dalam bentuk peradilan adat. Ketiga lembaga Peradilan Swapraja pada masa kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian yang ke empat Peradilan Agama sampai sekarang.

Diterimanya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan papakem Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone dan Gowa di Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan dalam masalah hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC mengeluarkanperaturan Resolutie der Indische Regeering (mengakui keberadaan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah di kalangan muslim), dan memberlakukan Compedium Freijer bagi muslim (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam).

2. Masa Penjajahan Belanda

Pada masa penjajahan Belanda berlaku Compedium Freijer (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut Islam) yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Atas usul residen Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965) dibuat kitab Tjicebonce Rechtboek. Untuk Landraad (sekarang Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium tersendiri, begitu juga Makasar. Compedium diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun 1808 yang memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan.

Berdasarkan berbagai pendapat yang dikemukakan dalam buku tersebut dapat dilihat bahwa hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa diselesaikan di Pengadilan agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi.

Pada masa kekuasaan Belanda, penduduk indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu; pertama orang-orang eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa berlaku BW dengan sedikit pengecualian, ketiga orang Arab dan timur asing bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Dari pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus bagi orang-orang Islam indonesia.

Sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya ke Indonesia pemberlakuan hukum Islam termajinalisasikan sedikit demi sedikit, dan akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. Begitu juga hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama tidak digaji. Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun lambat laun sedikit demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang berlaku hanya hukum adat.

3. Masa Kemerdekaan

a. Masa Orde Lama (Orla)

Setelah merdeka UU tentang perkawinan pertama lahir pada masa orde lama (pemerintahan Ir. Sukarno) adalah UU No. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, UU ini diperluas pemberlakuannya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954. Keberadaan UU No. 22 tahun 1946 merupakan pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl No. 348 tahun 1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun 1946 ada dua pasal, pertama, keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk. Kedua, penetapan pegawai yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk.

Ada kebijaksanaan lain sebagai penghargaan kepada muslim yakni penetapan No. 5/ SD tanggal 26 maret 1946 tentang perpindahan Mahkamah Islam Tinggi yang dulu berada di Departemen Kehakiman dialihkan kepada Departemen Agama. Demikian juga penghulu agama dahulu pada Residen dan Bupati diserahkan kepada Menteri Agama.

UU No. 1 tahun 1974 adalah UU pertama yang berisi materi perkawinan. Meskipun baru ada tahun 1974 tapi masyarakat telah lama menginginkannya misalnya organisasi-organisasi wanita yang sampai membicarakan di Dewan Rakyat (Volkskraad). Sebelumnya ada RA.kartini dan Rohana kudus yang mengkritik perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada juga kerjasama antara puteri Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan Isteri dan Wanita Sejati di Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang poligami dan pelacuran. Tahun 1931 Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu. Selanjutnya 1950 lahir BPS (Badan Panasehat Pambinaan dan Pelestarian Perkawinan) yang didorong karena praktek perkawinan di bawah umur, talak semena-mena, poligami tidak bertanggung jawab. Sebagai respon positif tuntutan tersebut disusun dalam RUU namun tidak sampai diajukan ke DPR dikarenakan DPR beku karena Dekrit 5 juli 1959.

b. Masa Orde Baru (Orba)

Peraturan peundang-undangan pada masa orde baru (masa pemerintahan Suharto) merupakan kelanjutan dari usaha di orde lama, pada tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal 1 ayat (3) bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan 1968 sebagai respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah menyampaikan dua RUU kepada DPR Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang Pernikahan umat Islam. Kedua, RUU tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini tidak mendapat persetujuan DPR (1 fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima), kemudian pemerintah menarik RUU tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh. Dahlan menyampaikan kembali RUU pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan, ini kembali gagal disahkan (DPR tidak bergairah membahas karena penyusunannya didasarkan berbagai pandangan). Sementara itu organisasi masyarakat semakin mendesak, akhirnya pemerintah menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri dari 15 bab 73 pasal. RUU ini bertujuan:

  1. Memberikan kepastian hukum bagi masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan hanya bersifat judge made law.
  2. Melindungi hak kaum wanita dan keinginan/harapan wanita. Ketiga, menciptakan UU yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Di samping tuntutan-tuntutan tersebut ada pulan tanggapan negatif dari berbagai organisasi misalnya Sarekat isteri Jakarta, dan Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia.

Adapun catatan penting dari historis UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu; pertama, muncul penolakan terhadap RUU Perkawinan ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah hindia Belanda yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan agama. Kedua, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde baru yang merupakan respon terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU No. 1 tahun 1974 merupakan kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1 tahun 1974 yang berlaku secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.

Kemudian tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 tahun 1983. Tahun 1991 berhasil disusun KHI mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan berlaku dengan Inpres No. 1 tahun 1991.

c. Masa Reformasi

Sejak jatuhnya pemerintahan orde baru bulan Mei 1998 yaitu pada 4 masa presiden yaitu; B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati, SBY. Pada masa reformasi terjadi perdebatan PP N0. 10 tahun 1983, mereka terpecah menjadi 5 kelompok yaitu :

  1. Menghendaki PP dihapus dan membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama konvensional.
  2. Setuju PP dihapus dengan alasan poligami adalah urusan pribadi tidak perlu diatur Negara.
  3. PP dicabut kerena terbukti tidak dapat melindungi wanita.
  4. PP dicabut karena diskriminatif, hanya berlaku bagi PNS padahal Negara berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik.
  5. golongan mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah Muhammadiyah seluruh Indonesia.

Selain itu ada usulan revisi isi UU No. 1 tahun 1974 dan KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen UU No.7 tahun 1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama.

Lahirnya Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan wewenang peradilan agama. Lembaga peradilan agama tidak lagi dianggap sebagai “peradilan semu”, tetapi sudah diperhitungkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sama seperti lembaga peradilan yang lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 UU nomor 10 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.

TerPopuler